Lelaki itu memandang ke sebuah meja di sudut kafe. Lelaki yang sama yang di
lihat Dio beberapa bulan yang lalu. Dia memandang Dio dan dua sahabatnya dari
sudut kafe dengan penuh kekesalan. Dia adalah Andi.
Dia meninggalkan kafe itu menuju kamarnya yang dibiarkan tak beraturan. Dia
memandang beberapa buah foto yang ia tempelkan di dinding. Beberapa dari foto
itu sudah kusut dan berlubang. Ia ambil sebuah foto di tangannya. Ia remas foto
itu dengan penuh amarah.
“Lihat saja. Kamu akan mengalami yang lebih buruk lagi. Sekarang nikmati
saja kebahagiaan sesaatmu.”katanya menyeringai.
Di kamar yang lain yaitu dikamar Ani. Ani sedang menikmati alunan lagu
religi dari handphonenya. Ia lalu melangkah sambil meraba-raba. Matanya yang
buta membuatnya tak bisa selincah dahulu. Langkahnya terhenti di dekat sebuah
kursi. Ia raba kursi itu. Ia pun perlahan duduk di atasnya.
Ia raba deretan buku di depannya. Ia ambil bingkai foto yang di dalamnya
memperlihatkan foto Ridho. Ia raba foto itu. Ia mengingat sesuatu. Bayangan
Ridho kembali menghiasi pikirannya. Ia masih merindukannya. Tanpa terasa air
matanya menetes. Hanya satu yang ia inginkan. Ia hanya ingin tahu
keberadaannya. Ia tak mengharapkan lebih dari itu.
***
Lelaki yang sedang
terikat itu bergerak pelan. Ia menyipitkan mata dalam cahaya remang-remang. Ia memandang sekeliling ruangan. Ia lalu
menggerakkan tubuhnya pelan menuju sudut ruangan yang lain. Hujaman botol miras
dari salah satu penjaga di luar yang marah tadi pagi masih menyisakan sebuah
bongkahan kecil. Dengan perasaan senang ia ambil sepotong kaca itu. Ia berharap
potongan botol kaca itu bisa membuka ikatan tangannya. Ia lalu bergerak pelan
menuju tempatnya semula setelah mengambil potongan kaca itu. Ia menata
nafasnya. Ia mengamati pintu di depannya. Dengan mata terpejam dan badan diam,
tangannya mulai menggoreskan sepotong kaca itu pada tali yang membelit tangannya.
Ketiadaan dua orang yang setiap saat selalu menjaganya siang dan malam
membuatnya bisa bernafas lega. Ia menghentikan menggores tali di tangannya
ketika mendengar suara dari luar sana. Ia lalu sekuat tenaga menggoreskan
potongan kaca itu cepat-cepat. Sampai pada satu titik, ia benar-benar gembira
bukan kepalang. Ini seperti sebuah keajaiban. Ikatannya benar-benar lepas. Ia
lalu berpura-pura tertidur dengan tangan seperti masih terikat ke belakang.
“Lelaki tak berguna itu,”ejek pria yang berbadan gemuk.
“Sudahlah. Abaikan saja dia. Lebih baik kita nikmati saja apa yang kita
bawa malam ini, hahaha...”lelaki yang kurus mengangkat bungkusan di tangannya
yang ternyata berisi minuman keras.
Mereka tertawa di depan sebuah meja panjang. Lelaki yang di dalam ruangan
bernafas lega. Dua lelaki di luar itu tak tahu kalau ikatan tangannya sudah
terlepas.
Setelah tak mendengar suara mereka. Lelaki dalam ruangan itu berjalan
mengendap-endap. Ia melihat dua orang yang menjaganya tertidur pulas. Dengan
hati-hati ia melangkah pelan meninggalkan tempat itu. Jantungnya berdetak
kencang ketika melihat salah seorang dari mereka menggerakkan tubuhnya seolah
bangun. Dengan tenaga yang masih tersisa, dia berlari meninggalkan tempat itu.
Ia tak memperdulikan arah jalan. Yang jelas, ia ingin sejauh mungkin
meninggalkan tempat mengerikan itu.
Hari berganti. Seorang bocah terkejut mendapati sesosok tubuh tergeletak
tak berdaya di pekarangan rumahnya. Ia lalu berteriak memanggil ibunya. Sang
ibu langsung berlari keluar menuju sesosok tubuh itu. Ia tampak ketakutan. Ia berteriak memanggil suaminya. Lelaki itu lalu menghampiri sesosok tubuh itu. Ia
ingin memastikannya lelaki itu hidup atau mati.
“Dia masih hidup, Bu,”serunya.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan padanya?”tanya ibu itu panik.
Sesosok tubuh itu bergerak. Dengan suara lemah ia berkata minta tolong.
“Ya, sudah. Kita bawa masuk saja, Bu, “
“Tapi kalau dia orang jahat bagaimana?”seru ibu itu cemas.
Bapak itu tampak berfikir. “Sudahlah. Yang penting kita tolong saja
dulu.”
Lelaki itu lalu di bawa masuk.
“Adek ini siapa? Kok bisa sampai babak belur begini?”tanya bapak itu ketika
lelaki yang pingsan itu benar-benar tersadar.
Lelaki itu lalu menceritakan siapa dirinya dan dimana tempat tinggalnya.
“Ya, sudah. Sekarang adek istirahat saja dulu. Sambil memulihkan kesehatan,”
“Iya, pak. Terima kasih banyak. Saya mohon kalau nanti ada orang mencari
saya. Tolong jangan beri tahu kalau saya ada disini.”Pinta lelaki itu.
Lelaki itu menidurkan tubuhnya dengan pelan.
Yang ada di benaknya saat ini hanya kelurganya dan Ani. Dia takut sesuatu yang
buruk akan menimpa mereka.
Sementara itu di sebuah rumah tempat lelaki itu disekap, dua orang yang bertugas menjaga lelaki itu kalang kabut. Mereka panik mendapati rungan
yang mereka jaga kosong. Lelaki yang mempekerjakan mereka memandang kesal kearah mereka.
“Kami akan cari sampai dapat, bos,”kata salah seorang dari mereka ketakutan.
Lelaki itu tersenyum sinis.
“Tidak usah. Biarkan saja. Aku sudah ada rencana lain.”geram lelaki itu.
***
Semilir angin siang itu memberi sedikit kesegaran di tengah cuaca panas
yang menyengat. Ku letakkan gaun yang tadi dibelikan ibuku. Kami baru saja
belanja di sebuah toko baju yang baru dibuka dan mereka memberi kami diskon
promo. Mereka juga menawarkan kepada kami untuk menjadi member mereka. Dan
sebagai member, mereka akan memberikan diskon khusus. Ibuku yang termakan
rayuan pemilik toko langsung setuju untuk jadi member mereka. Huh! Mereka
pintar sekali merayu pelanggan.
“Nak, ada tamu,”
“Siapa, Bu?”
“Aku!”terdengar suara riang seorang perempuan. Aku mengernyitkan kening.
“Kamu sudah lupa, ya. Ini aku, Dina.”
Aku terpaku sejenak lalu tersenyum mempersilahkan dia masuk.
“Apa kabar? Wah, banting setir jadi penulis nih sekarang?”katanya
Aku tersenyum.“Mau gimana lagi. Saat ini hanya itu yang bisa aku lakukan,”
“Din, aku tinggal dulu. Aku mau ke toilet dulu,”kataku buru-buru. Aku
memang sudah kebelet pengen ke belakang.
“Oke.”jawabnya.
Handphoneku berbunyi ketika aku di toilet. Aku tak tahu kalau Dina iseng
mengambil handphoneku. Dari nomor tidak dikenal. Setelah mengetahui bunyi SMS
itu, dia lalu mengembalikan posisinya di home dan meletakkan
handphoneku di tempat semula.
Aku lalu masuk kamar. Entah kenapa tiba-tiba Dina minta pamit. Aku jadi
heran. Tapi aku tak bertanya lebih lanjut padanya.
Handphoneku yang sudah dilengkapi aplikasi khusus untuk orang yang tak bisa
melihat, sangat memudahkanku untuk menggunakannya. Aku bisa menghubungi
teman-temanku tanpa harus minta bantuan orang lain lagi.
Aku lalu menghubungi intan dan Dio.
Sore harinya, kami bertemu untuk menghabiskan hari di sebuah kafe langganan
kami. Kami berdiskusi tentang tulisan yang aku buat. Mereka juga membicarakan
tentang pekerjaan mereka yang melelahkan.
“Laporanku numpuk. Bos marah-marah. Minta semuanya cepat selesai. Memangnya
aku ini robot super canggih apa. Laporan seabrek begitu,”gerutu Intan.
“Lagian kamu sih. Sudah tahu bosmu sukanya marah-marah. Kamu malah
menunda-nunda pekerjaan. Ya, beginilah jadinya. Makanya jangan suka
menunda-nunda pekerjaan. Nanti kamu yang stres sendiri,”kataku.
“Iya, sih.”
“Dia mah sudah kebiasaan begitu. Ngga heran kalau bosnya marah
terus,”celetuk Dio.
“Bukan seperti itu juga...hanya saja...”
“Malas!”seru aku dan Dio bersamaan.
Intan hanya nyengir mendengarnya.
“O,ya. Tadi siang Dina datang ke rumah,”kataku.
“Dina. Ngapain lagi dia?”tanya Intan
“Ngga ngapa-ngapain. Dia cuma sebentar banget maen ke rumah. Aku bahkan
belum sempat ngobrol. Waktu itukan aku kebelet pipis. Setelah aku kembali dari
toilet, eh dia pamit pulang. Aku agak heran dengan sikapnya,”
“Oh! Mungkin dia ada kepentingan mendadak kali,”kata Dio.
“An...,pinjam handphonemu dong! Pulsaku habis nih, “pinta Intan dengan
menggerutu memandang Hp-nya.
“Ambil sendiri di tasku!”
“Oke.”
Intan mengambil handphoneku di tas. Dia membukanya. Setelah mengirim pesan.
Dia penasaran dengan nomor tak dikenal yang tertera di Hpku.
“Ini siapa, An?”katanya.
Intan akan berteriak tapi cepat-cepat ia membekap mulutnya sendiri.
“Dio...”katanya lirih kepada Dio sambil memperlihatkan isi pesan di Hp Ani.
Dio menyaut Hp di tangan Intan. Dia baca pesan di nomor tak dikenal itu.
Dio terkejut.
“Gimana?”tanya intan sambil berbisik agar aku tak mendengar.
“Ada apa, sih. Kok bisik-bisik?”tanyaku curiga.
Dio ragu-ragu untuk bersuara. Tapi belum sempat ia buka suara. Seorang pria
yang mereka kenal berjalan mendekati mereka. Dio dan Intan terkejut.
“Ani!”seru lelaki itu. Aku terpaku. Bukan karena apa-apa. Tapi, karena aku tahu betul suara itu.
bersambung
Pesan palsu (part 4)
Pesan palsu (part 4)
Link: