Tuesday, November 10, 2015

PESAN PALSU (PART 3)

Lelaki itu memandang ke sebuah meja di sudut kafe. Lelaki yang sama yang di lihat Dio beberapa bulan yang lalu. Dia memandang Dio dan dua sahabatnya dari sudut kafe dengan penuh kekesalan. Dia adalah Andi.
Dia meninggalkan kafe itu menuju kamarnya yang dibiarkan tak beraturan. Dia memandang beberapa buah foto yang ia tempelkan di dinding. Beberapa dari foto itu sudah kusut dan berlubang. Ia ambil sebuah foto di tangannya. Ia remas foto itu dengan penuh amarah.
“Lihat saja. Kamu akan mengalami yang lebih buruk lagi. Sekarang nikmati saja kebahagiaan sesaatmu.”katanya menyeringai.
Di kamar yang lain yaitu dikamar Ani. Ani sedang menikmati alunan lagu religi dari handphonenya. Ia lalu melangkah sambil meraba-raba. Matanya yang buta membuatnya tak bisa selincah dahulu. Langkahnya terhenti di dekat sebuah kursi. Ia raba kursi itu. Ia pun perlahan duduk di atasnya.
Ia raba deretan buku di depannya. Ia ambil bingkai foto yang di dalamnya memperlihatkan foto Ridho. Ia raba foto itu. Ia mengingat sesuatu. Bayangan Ridho kembali menghiasi pikirannya. Ia masih merindukannya. Tanpa terasa air matanya menetes. Hanya satu yang ia inginkan. Ia hanya ingin tahu keberadaannya. Ia tak mengharapkan lebih dari itu.
***
Lelaki yang sedang terikat itu bergerak pelan. Ia menyipitkan mata dalam cahaya remang-remang. Ia memandang sekeliling ruangan. Ia lalu menggerakkan tubuhnya pelan menuju sudut ruangan yang lain. Hujaman botol miras dari salah satu penjaga di luar yang marah tadi pagi masih menyisakan sebuah bongkahan kecil. Dengan perasaan senang ia ambil sepotong kaca itu. Ia berharap potongan botol kaca itu bisa membuka ikatan tangannya. Ia lalu bergerak pelan menuju tempatnya semula setelah mengambil potongan kaca itu. Ia menata nafasnya. Ia mengamati pintu di depannya. Dengan mata terpejam dan badan diam, tangannya mulai menggoreskan sepotong kaca itu pada tali yang membelit tangannya. Ketiadaan dua orang yang setiap saat selalu menjaganya siang dan malam membuatnya bisa bernafas lega. Ia menghentikan menggores tali di tangannya ketika mendengar suara dari luar sana. Ia lalu sekuat tenaga  menggoreskan potongan kaca itu cepat-cepat. Sampai pada satu titik, ia benar-benar gembira bukan kepalang. Ini seperti sebuah keajaiban. Ikatannya benar-benar lepas. Ia lalu berpura-pura tertidur dengan tangan seperti masih terikat ke belakang.
“Lelaki tak berguna itu,”ejek pria yang berbadan gemuk.
“Sudahlah. Abaikan saja dia. Lebih baik kita nikmati saja apa yang kita bawa malam ini, hahaha...”lelaki yang kurus mengangkat bungkusan di tangannya yang ternyata berisi minuman keras.
Mereka tertawa di depan sebuah meja panjang. Lelaki yang di dalam ruangan bernafas lega. Dua lelaki di luar itu tak tahu kalau ikatan tangannya sudah terlepas.
Setelah tak mendengar suara mereka. Lelaki dalam ruangan itu berjalan mengendap-endap. Ia melihat dua orang yang menjaganya tertidur pulas. Dengan hati-hati ia melangkah pelan meninggalkan tempat itu. Jantungnya berdetak kencang ketika melihat salah seorang dari mereka menggerakkan tubuhnya seolah bangun. Dengan tenaga yang masih tersisa, dia berlari meninggalkan tempat itu. Ia tak memperdulikan arah jalan. Yang jelas, ia ingin sejauh mungkin meninggalkan tempat mengerikan itu.

Hari berganti. Seorang bocah terkejut mendapati sesosok tubuh tergeletak tak berdaya di pekarangan rumahnya. Ia lalu berteriak memanggil ibunya. Sang ibu langsung berlari keluar menuju sesosok tubuh itu. Ia tampak ketakutan.  Ia berteriak memanggil suaminya. Lelaki  itu lalu menghampiri sesosok tubuh itu. Ia ingin memastikannya lelaki itu hidup atau mati.
“Dia masih hidup, Bu,”serunya.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan padanya?”tanya ibu itu panik.
Sesosok tubuh itu bergerak. Dengan suara lemah ia berkata minta tolong.
“Ya, sudah. Kita bawa masuk saja, Bu, “
“Tapi kalau dia orang jahat bagaimana?”seru ibu itu cemas.
Bapak  itu tampak berfikir. “Sudahlah. Yang penting kita tolong saja dulu.”
Lelaki itu lalu di bawa masuk. 
“Adek ini siapa? Kok bisa sampai babak belur begini?”tanya bapak itu ketika lelaki yang pingsan itu benar-benar tersadar.
Lelaki itu lalu menceritakan siapa dirinya dan dimana tempat tinggalnya.
“Ya, sudah. Sekarang adek istirahat saja dulu. Sambil memulihkan kesehatan,”
“Iya, pak. Terima kasih banyak. Saya mohon kalau nanti ada orang mencari saya. Tolong jangan beri tahu kalau saya ada disini.”Pinta lelaki itu.
Lelaki itu menidurkan tubuhnya dengan pelan. Yang ada di benaknya saat ini hanya kelurganya dan Ani. Dia takut sesuatu yang buruk akan menimpa mereka.
Sementara itu di sebuah rumah tempat lelaki itu disekap, dua orang yang bertugas menjaga lelaki itu kalang kabut. Mereka panik mendapati rungan yang mereka jaga kosong. Lelaki yang mempekerjakan mereka memandang kesal kearah mereka. 
“Kami akan cari sampai dapat, bos,”kata salah seorang dari mereka ketakutan.
Lelaki itu tersenyum sinis. 
“Tidak usah. Biarkan saja. Aku sudah ada rencana lain.”geram lelaki itu.

***
Semilir angin siang itu memberi sedikit kesegaran di tengah cuaca panas yang menyengat. Ku letakkan gaun yang tadi dibelikan ibuku. Kami baru saja belanja di sebuah toko baju yang baru dibuka dan mereka memberi kami diskon promo. Mereka juga menawarkan kepada kami untuk menjadi member mereka. Dan sebagai member, mereka akan memberikan diskon khusus. Ibuku yang termakan rayuan pemilik toko langsung setuju untuk jadi member mereka. Huh! Mereka pintar sekali merayu pelanggan.
“Nak, ada tamu,”
“Siapa, Bu?”
“Aku!”terdengar suara riang seorang perempuan. Aku mengernyitkan kening.
“Kamu sudah lupa, ya. Ini aku, Dina.”
Aku terpaku sejenak lalu tersenyum mempersilahkan dia masuk.
“Apa kabar? Wah, banting setir jadi penulis nih sekarang?”katanya
Aku tersenyum.“Mau gimana lagi. Saat ini hanya itu yang bisa aku lakukan,”
“Din, aku tinggal dulu. Aku mau ke toilet dulu,”kataku buru-buru. Aku memang sudah kebelet pengen ke belakang.
“Oke.”jawabnya.
Handphoneku berbunyi ketika aku di toilet. Aku tak tahu kalau Dina iseng mengambil handphoneku. Dari nomor tidak dikenal. Setelah mengetahui bunyi SMS itu, dia lalu mengembalikan posisinya di home dan meletakkan handphoneku di tempat semula.
Aku lalu masuk kamar. Entah kenapa tiba-tiba Dina minta pamit. Aku jadi heran. Tapi aku tak bertanya lebih lanjut padanya.
Handphoneku yang sudah dilengkapi aplikasi khusus untuk orang yang tak bisa melihat, sangat memudahkanku untuk menggunakannya. Aku bisa menghubungi teman-temanku tanpa harus minta bantuan orang lain lagi.
Aku lalu menghubungi intan dan Dio.
Sore harinya, kami bertemu untuk menghabiskan hari di sebuah kafe langganan kami. Kami berdiskusi tentang tulisan yang aku buat. Mereka juga membicarakan tentang pekerjaan mereka yang melelahkan.
“Laporanku numpuk. Bos marah-marah. Minta semuanya cepat selesai. Memangnya aku ini robot super canggih apa. Laporan seabrek begitu,”gerutu Intan.
“Lagian kamu sih. Sudah tahu bosmu sukanya marah-marah. Kamu malah menunda-nunda pekerjaan. Ya, beginilah jadinya. Makanya jangan suka menunda-nunda pekerjaan. Nanti kamu yang stres sendiri,”kataku.
“Iya, sih.”
“Dia mah sudah kebiasaan begitu. Ngga heran kalau bosnya marah terus,”celetuk Dio.
“Bukan seperti itu juga...hanya saja...”
“Malas!”seru aku dan Dio bersamaan.
Intan hanya nyengir mendengarnya.
“O,ya. Tadi siang Dina datang ke rumah,”kataku.
“Dina. Ngapain lagi dia?”tanya Intan
“Ngga ngapa-ngapain. Dia cuma sebentar banget maen ke rumah. Aku bahkan belum sempat ngobrol. Waktu itukan aku kebelet pipis. Setelah aku kembali dari toilet, eh dia pamit pulang. Aku agak heran dengan sikapnya,”
“Oh! Mungkin dia ada kepentingan mendadak kali,”kata Dio.
“An...,pinjam handphonemu dong! Pulsaku habis nih, “pinta Intan dengan menggerutu memandang Hp-nya.
“Ambil sendiri  di tasku!”
“Oke.”
Intan mengambil handphoneku di tas. Dia membukanya. Setelah mengirim pesan. Dia penasaran dengan nomor tak dikenal yang tertera di Hpku.
“Ini siapa, An?”katanya.
Intan akan berteriak tapi cepat-cepat ia membekap mulutnya sendiri.
“Dio...”katanya lirih kepada Dio sambil memperlihatkan isi pesan di Hp Ani.
Dio menyaut Hp di tangan Intan. Dia baca pesan di nomor tak dikenal itu. Dio terkejut.
“Gimana?”tanya intan sambil berbisik agar aku tak mendengar.
“Ada apa, sih. Kok bisik-bisik?”tanyaku curiga.
Dio ragu-ragu untuk bersuara. Tapi belum sempat ia buka suara. Seorang pria yang mereka kenal berjalan mendekati mereka. Dio dan Intan terkejut.
“Ani!”seru lelaki itu. Aku terpaku. Bukan karena apa-apa. Tapi, karena aku tahu betul suara itu.  

bersambung
Pesan palsu (part 4)

Link:


Wednesday, October 14, 2015

PESAN PALSU (PART 2)

Di sebuah kamar yang sempit dan remang-remang, sesorang lelaki terlihat lunglai di pojok ruangan. Ada luka memar di wajah lelaki itu. Tangannya terikat tali. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki masuk dengan senyum menyeringai.
“Apa kamu baik-baik saja?”kata lelaki yang baru masuk.
“Mau apa kau! Apa kamu seorang pengecut!”Bentak lelaki yang terikat  itu.
“Hahaha...”
Lelaki yang terikat menatap tajam pada lelaki yang baru masuk.
“Pengecut? Apa sekarang kamu sedang meluapkan kemarahan?””tanya lelaki yang baru masuk dengan senyum mengejek.
 “Sekarang ini kamu bukan apa-apa di hadapanku,”kata lelaki itu lagi.
Lelaki yang terikat menahan marah.
“Oh! Sampai lupa. Apa kamu tak mau mendengar kabar gadis itu?”
Lelaki yang terikat mendongak
“Hahaha....sudah pasti. Tenang.  Dia baik-baik saja. Setidaknya kalau kau tidak macam-macam dan mencoba kabur lagi dari hadapanku!”kata lelaki itu. Kali ini dengan nada tinggi.
“Kamu memang brengsek!”bentak lelaki terikat itu geram.
“Brengsek? Lebih brengsek mana? Kau atau aku!”Bentak lelaki itu
“Apa maksudmu?”tanya lelaki terikat itu tak mengerti.
“Kamu tentu tahu apa maksudku. Jangan memancing kemarahanku lagi! Dan tetap nyaman disini. Mengerti!”seru lelaki itu dengan pandangan sinis. Dia lalu keluar dari ruangan itu. Lelaki itu terlihat bicara dengan dua orang di luar ruangan.
“Jaga dia! Kalau macam-macam. Habisi saja!”
Dua orang yang diajak bicara mengangguk.
Lelaki itu kembali memandang ruangan yang dia masuki tadi. Dengan senyuman penuh kemenangan dia meninggalkan tempat itu.
Beberapa kilometer dari tempat itu. Tepatnya di sebuah kafe. Terlihat tiga orang anak muda sedang bercanda tawa. Mereka adalah Dio, Ani dan Intan. Dihadapan mereka ada tiga buah jus berbeda rasa yang sebagian sudah mereka minum.
“An, bagaimana dengan tulisanmu? Apa sudah jadi?”tanya Intan
“Sudah. Nanti tolong dibaca dulu ya. Takut ada yang salah,”kata Ani
“Salah bagaimana? Tentu saja tidak. Aku kan yang mengetik,”kata Dio protes.
Ani  jadi merasa bersalah. “Maaf. Maksudku bukan seperti itu,”katanya.
“Iya, aku tahu. Aku hanya bercanda.”kata Dio tersenyum.
Rutinitas Ani sekarang adalah menulis. Berbanding terbalik dengan aktivitas yang dulu sebagai model. Namun dengan melihat senyum mengembang di wajah Ani. Dia tampaknya sudah bahagia dengan keadaannya sekarang. Hanya satu yang mengganjal yaitu Ridho. Lelaki itu sampai sekarang tidak ada kabarnya.

***
“Kak, dimana aku? Kenapa semuanya gelap?”
Aku terdiam. Aku tak mampu bersuara. Suaraku tercekat di tenggorokan.
“Kakak! Kenapa Diam!”Suara paniknya bergetar di telingaku.
“E...”lagi-lagi aku tak mampu untuk bersuara.
“Oh! Tuhan. Bantu aku untuk lari...”
Akhirnya setelah beberapa waktu berada dalam situasi tak mengenakkan, aku bisa pergi meninggalkan dirimya yang sekarang tertidur pulas. Sebelumnya ia terus meronta melihat kondisi buruknya.
“Setelah apa yang telah kamu lakukan pada adikku. Lantas kamu bisa pergi begitu saja!”gumamku geram. Tanganku mengepal. Darahku sudah naik ke ubun-ubun. Aku sudah membulatkan tekadku.
Album foto itu sekarang ada di hadapanku. Ku tatap satu persatu wajah orang di dalam foto itu. Sampai pada lembar ke empat,  aku terpaku. Ku ambil  lembar foto itu. Aku meremas foto itu sekuat tenaga seolah ingin meremukkan badan orang yang ada dalamnya.
***
Seorang Lelaki sedang menyusuri jalan di sebuah gang. Langkahnya terhenti di depan sebuah rumah mewah ber cat hijau. Beberapa pot bunga dan pohon menghiasi halaman depan rumah itu.  Dia bersembunyi ketika melihat seorang gadis keluar dari pintu rumah itu. Dia mengamati kepergian gadis itu. Ia memandang kepergian gadis itu dengan senyum menyeringai.
Dia kini berjalan disekitar kampus.
“Aduh! Hati-hati dong kalau jalan!”seru Dio kesal. Buku-buku ditangannya berhamburan di lantai.
“Maaf.”kata lelaki itu.
Dio memunguti buku-bukunya sambil di bantu lelaki itu.
“Sekali lagi maaf, ya.”jawabnya sambil berlalu.
Dio mengamati kepergian lelaki itu. Keningnya berkerut  mengingat sesuatu. Dia lalu menggelengkan kepalanya.
“Si kutu buku datang.” Gumam Intan senang melihat kedatangan Dio.
Dio manyun dipanggil seperti itu.
“An, nanti ada pemotretan lagi?”tanya Dio setelah dia duduk didepan Ani dan Intan.
“Iya.”
Dio mendesah. Itu berarti acara nonton mereka bertiga tertunda lagi.
“Apa tidak ada waktu libur. Tiap hari sibuk terus. Kapan kamu punya waktu buat kami. Kalau pun libur, pasti waktunya buat Ridho,”cerocos Intan.
“Maaf. Aku janji lain kali pasti aku ikut pergi bersama kalian.”
Mereka lalu berjalan masuk ke Perpustakaan. Setelah memilih beberapa buku, mereka lalu duduk di meja yang berdekatan.  
Secara tak sengaja Dio memandang sebuah meja yang tak jauh dari meja mereka. Lelaki yang ditabraknya tadi duduk disana.
“Apa dia juga kuliah disini?”gumam Dio yang membuat dua sahabatnya menoleh.
“Kamu ngomongin siapa?”tanya Intan.
Dio menunjuk lelaki berbaju biru. Intan dan Ani menoleh melihat lelaki itu. Lelaki yang dipandang ikut menoleh. Lelaki itu tersenyum sekilas dan melanjutkan acara membacanya.
“Memangnya kamu kenal?”tanya Ani
“Ngga yakin, sih. Tapi, rasa-rasanya aku pernah melihatnya. Aku lupa dimana,”kata Dio tak yakin.
 “Perasaanmu aja kali.”kata Intan.
“Mungkin.”kata Dio manggut-manggut.
Mereka lalu melanjutkan acara membaca. Tanpa mereka sadari lelaki yang mereka bicarakan tadi memandang tajam pada mereka. Lelaki itu lalu berlalu pergi dengan senyum menyeringai.
Dio secara tak sengaja melihat kepergian lelaki itu. Dia masih penasaran siapa sebenarnya lelaki itu.


Selanjutnya: